Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan beberapa poin yang harus diperhatikan dalam proses pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Batu Bara.
Salah satunya penetapan tarif dengan mempertimbangkan berbagai faktor, khususnya jumlah dan volume.
“Ini tarif saya kira teknis sekali dan tentu saja karena melibatkan dana yang besar sekali, aspek transparansi perlu dikedepankan,” ujar Hendra dalam diskusi bertajuk Rencana Pembentukan BLU DMO Batu Bara: Mengukur Urgensi dan Mencari Formulasi Terbaik di Swiss Belresidence Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin, 22 Agustus 2022.
Selain itu, kata dia, ketepatan waktu pembayaran perlu disorot.
Sebab, BLU Batu Bara akan menarik iuran dalam setiap transaksi penjualan setelah harga dilepas ke mekanisme pasar.
Kemudian, iuran dialokasikan untuk menutupi harga yang dibayarkan PLN menggunakan patokan terkini US$ 70 per ton.
Hendra berujar, jika pembayarannya terlambat, perusahaan bisa kesulitan untuk mengirim pasokan batu bara.
“Jadi kesulitan dari apa pun nanti bentuknya kita dalam ranah pemerintah, ya kita tidak dalam posisi mengusulkan bentuknya BLU seperti apa.
Tapi yang penting harus menjamin adanya transparansi,” tutur dia.
Hendra juga meminta agar BLU Batu Bara siap melaksanakan tugas.
Apalagi nantinya BLU memerlukan waktu verifikasi secara detail untuk memungut iuran.
Pengusaha tidak ingin pungutan itu tidak mencerminkan kesetaraan dan justru merugikan PLN, pengusaha, dan masyarakat.
“Jadi harus dicari skema yang tepat.” Hendra melanjutkan, mekanisme pungutan perlu memberikan keadilan bagi pemasok dan tidak mengganggu arus kas perusahaan.
Selain itu, APBI berharap pemerintah mempertimbangkan soal pengenaan PPN lantaran skema BLU pada dasarnya adalah pungut-salur.
“PPN ini harus dijelaskan lagi, apa maksudnya, PPN itu kan biasanya kalau ada jasa ya, tapi apakah BLU ini merupakan jasa? BLU ini hanya memungut dah menyalurkan, ini bagaimana?” kata Hendra.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan tantangan BLU Batu Bara akan muncul pada bagian administratif, penetapan harga, dan penggunaan dana.
“Risikonya dana non-budgeter atau bukan dari APBN, jadi pengawasannya harus ketat,” ujar dia.
Sebelumnya, PLN meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera membentuk BLU Batu Bara di tengah kondisi tertahannya pasokan komoditas energi primer di sejumlah pemasok.
EVP Batubara PLN Sapto Aji Nugroho mengatakan sebagian besar pemasok batu bara kini memilih menahan pasokan di tengah harga komoditas emas hitam yang menguat di pasar internasional.
Pemasok batu bara yang sudah berkontrak dengan PLN belakangan pun memilih untuk menunda pengiriman.
Kondisi itu lantaran muncul spekulasi bahwa BLU Batu Bara segera terbentuk akibat adanya disparitas antara harga komoditas domestik dan pasar dunia.
“Sejak April, Mei, orang sudah menunggu BLU akan keluar sehingga beberapa pemasok menunda pengiriman.
Hal tersebut makin mempersulit kondisi saat ini ketika BLU itu tidak segera keluar,” kata Sapto, 2 Agustus lalu.
Sementara itu, BLU Batu Bara akan menarik iuran kepada setiap transaksi penjualan.
Iuran akan dipungut setelah harga dilepas ke mekanisme pasar.
Kemudian, iuran dialokasikan untuk menutupi harga yang dibayarkan PLN yang menggunakan patokan terkini US$ 70 per ton.
“Kami berharap BLU dapat segera direalisasikan karena itu jadi solusi dari disparitas harga dan permasalahan pengamanan pasokan,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.